1.
Evaluasi
Kurikulum Model Measurement
Model
ini dipandang sebagai model tertua di dalam
sejarah evaluasi dan telah banyak dikenal di dalam proses evaluasi pendidikan.
Tokoh-tokoh evaluasi yang dipandang sebagai pengembang model ini adalah R. Thorndike dan R.L. Ebel.
Evaluasi
dalam model ini pada dasarnya adalah pengukuran perilaku siswa untuk mengungkapkan
perbedaan individual maupun kelompok. Hasil evaluasi digunakan terutama untuk
keperluan seleksi siswa, bimbingan pendidikan dan perbandingan efektifitas
antara dua atau lebih program/metode pendidikan. Obyek evaluasi dititik beratkan
pada hasil belajar terutama dalam aspek kognitif dan khususnya yang dapat
diukur dengan alat evaluasi yang obyektif dan dapat dibakukan. Jenis data yang
dikumpulkan dalam evaluasi adalah data obyektif khususnya skor hasil tes. Dalam
kegiatan evaluasi, cenderung ditempuh pendekatan/cara-cara berikut:
a.
Menempatkan `kedudukan`
setiap siswa dalam kelompoknya melalui pengembangan norma kelompok dalam
evaluasi hasil belajar.
b.
Membandingkan hasil
belajar antara dua atau lebih kelompok yang menggunakan program/metode pengajaran
yang berbeda-beda, melalui analisis secara kuantitatif.
c.
Teknik evaluasi yang
digunakan terutama tes yang disusun dalam bentuk obyektif, yang terus
dikembangkan untuk menghasilkan alat evaluasi yang reliabel dan valid.
Konsep
measurement ini telah memberikan penekanannya terhadap pentingnya objektivitas
dalam prosedur evaluasi. Disamping itu pendekatan yang digunakan konsep ini
masih sangat besar pengaruhnya dan dirasakan faedahnya dalam berbagai kegiatan
pendidikan. Measurement is not evaluation, but it can
provide useful data or for evaluation. Sebagai konsekuensi dari
penekanan yang berlebih-lebih pada aspek pengukuran, evaluasi cenderung
dibatasi pada dimensi tertentu dari program pendidikan yang dapat diukur,
terutama hasil belajar yang bersifat kognitif.
2.
Evaluasi
Kurikulum Model Congruence
Model
kedua ini dapat dipandang sebagai reaksi terhadap model yang pertama.
Tokoh-tokoh evaluasi yang merupakan pengembang model ini antara lain adalah
Raph W. Tyler, John B. Carroll, dan Lee J. Cronbach.
a.
Hakikat Evaluasi
Menurut
model ini, evaluasi itu tidak lain adalah usaha untuk memeriksa persesuaian (congruence) antara tujuan-tujuan pendidikan yang
diinginkan dan hasil belajar yang telah dicapai. Berhubung tujuan-tujuan
pendidikan menyangkut perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan pada
diri anak didik, maka evaluasi yang dinginkan itu telah terjadi. Hasil evaluasi
yang diperoleh berguna bagi kepentingan menyempurnakan sistem bimbingan siswa
dan untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak di luar pendidikan mengenai
hasil-hasil yang telah dicapai.
b.
Ruang Lingkup
Objek
evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku siswa. Secara lebih khusus, yang
dinilai di sini adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan yang diperhatikan
oleh siswa pada akhir kegiatan pendidikan.
Tingkah
laku hasil belajar ini tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, melainkan
juga mencakup aspek keterampilan dan sikap, sebagai hasil dari proses
pendidikan.
c.
Pendekatan
Dalam
menilai hasil belajar yang mencakup berbagai jenis sebagaimana yang tercantum
dalam rumusan, tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dan perlu dicapai, model ini
menganut pendirian bahwa berbagai kemungkinan alat evaluasi perlu digunakan.
Ada
dua hal penting yang perlu dikemukakan mengenai pendekatan evaluasi yang dianut
oleh model ini:
Pertama, model ini
menyarankan digunakannya prosedur pre dan post test
untuk menilai hasil yang dicapai siswa sebagai akibat dari kegiatan pendidikan
yang telah diikutinya.
Kedua, model ini tidak
menyarankan dilaksanakannya apa yang disebut evaluasi perbandingan untuk
melihat sejauh mana kurikulum yang baru lebih efektif dari kurikulum yang ada.
Langkah-langkah yang
perlu ditempuh di dalam proses evaluasi menurut model ini, Tyler mengajukan 4
langkah pokok yaitu:
1) Merumuskan
atau mempertegas tujuan-tujuan pengajaran.
2) Menetapkan
“test situation” yang diperlukan.
3) Menyusun
alat evaluasi.
4) Menggunakan
hasil evaluasi.
Berhubung setiap sistem
pendidikan memiliki berbagai tujuan yang ingin dicapainya, akan lebih tepat
bila hasil evaluasi tidak dinyatakan dalam bentuk hasil keseluruhan tes tapi
dalam bentuk hasil bagian dari tes yang bersangkutan, sehingga terlihat
bagian-bagian mana dari sistem pendidikan yang masih perlu disempurnakan.
3.
Evaluasi
Kurikulum Model Illuminatif.
Model
ini dikembangkan sebagai reaksi terhadap dua model evaluasi yang pertama, yaitu
measurement dan congruence. Model ini dikembangkan terutama di Inggris dan
banyak dikaitkan dengan pendekatan dalam bidang antropologi.
Salah seorang tokoh yang paling menonjol dalam usahanya mengembangkan model ini
adalah Malcolm Parlett.
Tujuan
penilaian menurut model ini adalah mengadakan studi yang cermat terhadap sistem
yang bersangkutan. Hasil evaluasi ditekankan pada deskripsi dan interpretasi,
bukan pengukuran dan prediksi sebagaimana model sebelumnya. Dalam pelaksanaan
evaluasi, model ini lebih menekankan penggunaan judgment, selaras dengan
semboyannya the judgment is the evaluation.
Tahapan
evaluasi dalam Illuminatif model terdiri dari tiga fase sebagai berikut :
a) Tahap
pertama observe. Pada tahap ini,
evaluator mengunjungi sekolah atau lembaga yang sedang mengembangkan sistem
tertentu. Evaluator mendengarkan dan melihat berbagai peristiwa, persoalan,
serta reaksi dari guru maupun siswa terhadap pelaksanaan sistem tersebut.
b) Tahap
kedua Inquiry further. Pada tahap ini,
berbagai persoalan yang terlihat atau terdengar dalam tahap pertama diseleksi
untuk mendapatkan perhatian dan penelitian lebih lanjut.
c) Tahap
ketiga Seek to explain. Pada tahap ini, evaluator mulai meneliti sebab akibat dari
masing-masing persoalan. Pada tahap ini, faktor-faktor yang menyebabkan
timbulnya persoalan dicoba untuk ditelusuri. Data
semula terpisah satu dengan lainnya
mulai disusun dan dihubungkan dalam kesatuan situasi. Langkah
selanjutnya dilakukan interpretasi data yang diharapkan dapat dijadikan bahan dalam
pengambilan keputusan.
Dari
langkah-langkah tersebut, faktor penting dalam evaluasi model ini adalah perlunya kontak langsung antara evaluator dengan pihak yang
dievaluasi. Hal ini disebabkan model ini menggunakan pendekatan
kualitatif yang menekankan pentingnya menjalin kedekatan dengan orang dan
situasi yang sedang dievaluasi agar dapat memahami secara personal realitas dan
hal-hal rinci tentang program atau sistem yang sedang dikembangkan.
Di
samping itu, faktor lainnya adalah pandangannya yang holistik dalam evaluasi,
yang berasumsi bahwa keseluruhan adalah lebih besar daripada sejumlah
bagian-bagian.
4.
Evaluasi
Kurikulum Model Educational System.
Model
keempat yang ini merupakan reaksi terhadap kedua model terdahulu. Tokoh-tokoh
evaluasi yang dipandang sebagai pengembang dari model yang ketiga ini antara
lain adalah Daniel L. Stufflebeam, Michael Scriven, Robert E. Stake dan Malcolm
M. Provus.
a. Hakikat
Evaluasi
Model
ini bertitik tolak dari pandangan, bahwa keberhasilan dari suatu sistem
pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Evaluasi menurut model ini
dimaksudkan untuk membandingkan performance dari berbagai dimensi sistem yang
sedang dikembangkan dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai
pada suatu deskripsi dan judgement mengenai sistem yang dinilai tersebut.
Ada empat hal yang
perlu dikemukakan mengenai pandangan model ini tentang evaluasi:
·
Evaluasi itu ditujukan
kepada berbagai dimensi dari sistem yang sedang dikembangkan, tidak hanya
dimensi hasilnya saja.
·
Proses evaluasi itu
mencakup perbandingan antara performance dan kriteria, baik kriteria yang
sifatnya mutlak maupun relatif.
·
Evaluasi tidak hanya
berakhir dengan suatu deskripsi mengenai keadaan sistem yang bersangkutan
tetapi juga menuntut adanya jugdement sebagai kesimpulan dari hasil evaluasi.
·
Hasil evaluasi
digunakan sebagai bahan atau input bagi pengambilan keputusan dalam rangka
penyempurnaan sistem maupun penyimpulan mengenai kebaikan sistem yang
bersangkutan secara keseluruhan.
b. Ruang
Lingkup
Ruang lingkup evaluasi
yang diajukan oleh model keempat ini adalah bahwa:
Objek evaluasi dalam
rangka pengembangan kurikulum atau sistem pendidikan mencakup
sekurang-kurangnya 3 dimensi, yaitu dimensi peralatan/sarana, proses dan hasil
yang dicapai.
Jenis-jenis
data diperlukan dalam proses penilaian mencakup data objektif maupun data
subjektif.
c. Pendekatan
Ada dua pendekatan
utama yang diajukan oleh model ini dalam pelaksanaan evaluasi yaitu:
Perbandingan
performance berdasarkan kriteria intern.
Pendekatan yang pertama ini ditempuh pada saat sistem masih berada pada fase
pengembangan dan masih mengalami perbaikan-perbaikan. Untuk setiap dimensi
sistem (input, proses, hasil) dilakukan evaluasi berdasarkan kriteria yang ada:
1)
Rencana dinilai
berdasarkan kriteria rencana yang baik.
2)
Proses (pelaksanaan)
dievaluasi dari kesesuaiannya dengan rencana yang
ada. Rencana kegiatan di sini berlaku sebagai
kriteria.
3)
Hasil yang dicapai
dinilai dari kesesuaiannya dengan tujuan yang ingin dicapai. Tujuan di sini
berlaku sebagai kriteria.
Perbandingan performance berdasarkan kriteria ekstern.
Pendekatan yang kedua ini ditempuh pada saat sistem sudah berada dalam keadaan
“siap” setelah mengalami perbaikan-perbaikan selama fase pengembangan. Kalau
dalam pendekatan yang pertama salah satu pertanyaan yang diajukan adalah
“sejauh mana sistem yang dikembangkan itu telah mencapai tujuannya”, dalam
pendekatan yang kedua ini pertanyaan menjadi “apakah sistem yang baru ini lebih
baik dari sistem yang ada sekarang”.
Untuk
melaksanakan kedua pendekatan di atas diperlukan berbagai cara evaluasi di
samping tes hasil belajar, yaitu observasi, angket, wawancara, dan juga content
analysis, mengingat data yang dikumpulkan di sini mencakup baik data objekif
maupun data subjektif.
5.
Model CIPP
Model
ini dikembangkan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Stufflebeam. Sehingga
sesuai dengan namanya, model CIPP ini memiliki 4 jenis evaluasi yaitu: evaluasi
Context (konteks), Input (masukan), Process (proses), dan Product (hasil).
Adapun tugas evaluator dari keempat jenis evaluasi tersebut adalah sebagai
berikut:
1)
Evaluasi Context
Tujuan
utama dari evaluasi context adalah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan
evaluan. Evaluator mengidentifikasi berbagai factor guru, peserta didik,
manajemen, fasilitas kerja, suasana kerja, peraturan, peran komite sekolah,
masyarakat dan factor lain yang mungkin berpengaruh terhadap kurikulum.
2)
Evaluasi Input
Evaluasi
ini penting karena untuk pemberian pertimbangan terhadap keberhasilan
pelaksnaan kurikulum. Evaluator menentukan tingkat kemanfaatan berbagai factor
yang dikaji dalam konteks pelaksanaan kurikulum. Pertimbangan mengenai ini
menjadi dasar bagi evaluator untuk menentukan apakah perlu ada revisi atau
pergantian kurikulum.
3)
Process
Evaluasi
proses adalah evaluasi mengenai pelaksanaan dari suatu inovasi kurikulum.
Evaluator mengumpulkan berbagai informasi mengenai keterlaksanaan implementasi
kurikulum, berbagai kekuatan dan kelemahan proses implementasi. Evaluator harus
merekam berbagai pengaruh variable input terhadap proses.
4)
Product
Adapun
tujuan utama dari evaluasi hasil adalah untuk menentukan sejauh mana kurikulum
yang diimplementasikan tersebut telah dapat memenuhi kebutuhan kelompok yang
menggunakannya. Evaluator mengumpulkan berbagai macam informasi mengenai hasil
belajar, membandingkannya dengan standard dan mengambil keputusan mengenai
status kurikulum (direvisi, diganti atau dilanjutkan).
Dari
uraian diatas diketahui bahwa model CIPP adalah model evaluasi yang tidak hanya
dilaksanakan dalam situasi inovasi sedang dilaksanakan, tetapi justru model ini
dilakukan ketika inovasi akan dan belum dilaksanakan.
6. Model
Ekonomi Mikro
Model
ekonomi mikro adalah model yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Sebagaimana
model kuantitatif lainnya, maka model ekonomi mikro ini focus pada hasil (hasil
dari pekerjaan, hasil belajar dan hasil yang diperkirakan). Adapun pertanyaan
besar dalam ekonomi mikro adalah apakah hasil belajar yang diperoleh peserta
didik adalah sesuai dengan dana yang dikeluarkan? Adapun model dilingkungan
ekonomi mikro ada empat, adapun yang tepat digunakan dalam evaluasi kurikulum
adalah model cost effectiveness.
Dalam
model cost effectiveness ini seseorang evaluator harus dapat membandingkan dua program
atau lebih, baik dalam pengertian dana yang digunakan untuk masing-masing
program maupun hasil yang diakibatkan oleh setiap program. Perbandingan hasil
ini akan memberikan masukan bagi pembuat keputusan mengenai program mana yang
lebih menguntungkan dilihat dari hubungan antara dana dan hasil. Dalam mengukur
hasil di gunakan instrument yang sudah di standarisasi. Pengunaan instrument
standar penting karena dengan demikian perbandingan antara biaya dan hasil
dapat dilakukan secara berimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar